Di balik awan itu
Ada bulan cahayanya terang
Sedang bumi kegelapan
Dan penghuninya asyik tertanya-tanya
Ke manakah sang bulan?
Padahal purnamanya sering menjelang
Bersama setianya waktu
Silih berganti.
Di balik awan itu
Bukan bulan sembunyi
Atau malu menampakkan wajahnya
Di balik tebalnya awan
Yang sukar ditembusi
Di balik awan itu
Di mana-mana pun bulan berada
Cahayanya tetap ada
Menerangi penghuni bumi
Merejah tebalnya awan
Yang pasti berarak.
Thursday, October 26, 2006
My village
Admiring the nature in my wildest grace,
These northern hills with weary feet I trace;
So many damages over the trees, soils, and even winds
My savage journey, curious, I pursue,
Till an old man and the farm open my mind.
Stories of greed were told in tears,
They came with lies, promises and money,
They bought the winds and the hopes.
In tears he told.
The melting cliffs cried out of pain,
No more grass nor tress protect me from winds
No more hopes I can keep
They bought the winds and hopes.
In silent he told.
The woods, wild scattered was only a story,
No more old man to hope
No more stories told.
In pain he told.
The village or the town,
No longer clear to the generation,
Neon, poisonous tube, and silent they stare at.
My village glittering in the moonlight beam is just a dream.
These northern hills with weary feet I trace;
So many damages over the trees, soils, and even winds
My savage journey, curious, I pursue,
Till an old man and the farm open my mind.
Stories of greed were told in tears,
They came with lies, promises and money,
They bought the winds and the hopes.
In tears he told.
The melting cliffs cried out of pain,
No more grass nor tress protect me from winds
No more hopes I can keep
They bought the winds and hopes.
In silent he told.
The woods, wild scattered was only a story,
No more old man to hope
No more stories told.
In pain he told.
The village or the town,
No longer clear to the generation,
Neon, poisonous tube, and silent they stare at.
My village glittering in the moonlight beam is just a dream.
Monday, October 23, 2006
Lebaran
Bila ada langkah
membekas lara,
ada tingkah
menoreh luka,
ada kata
merangkai dusta,
mohom maaf segala kilaf
membekas lara,
ada tingkah
menoreh luka,
ada kata
merangkai dusta,
mohom maaf segala kilaf
Wednesday, October 18, 2006
Segores untaian kata buat NKRI
Selamat pagi NKRI negeriku, apa kabar?
Apa yang terimpikan hari hari ini
Ketika kekeringan dan kebakaran mengekpor asap kenegeri tetangga
Ketika kau cetak uang 100.000 an
Apa yang terjadi,
Ketika anak negeri saling membunuh
Apa yang salah
Ketika anak negeri tidak akur lagi
Apa yang salah
Ketika korupsi menjadi pekerjaan
Apa yang salah
Ketika orang menyuarakan kejujuran harus mati di pesawat
Apa yang salah
Ketika mahasiswa harapanmu menyontek semua
Kadang aku rindu keramahanmu
Seperti saat patih Gajahmada mengucapkan sumpah palapa
Rakyat tenteram merajut hari depan
NKRI aku sayang kamu
Apa salahku tak kuasa merubahmu di hari-hari ini
Saking bingunya aku tak tau apa artinya negeriku
Aku hanya seorang guru
Yang gagal mengabdi padamu
Yang membuat rakyatmu, alammu, masa depanmu
Suram
Maafkan aku negeri, aku telah jatuh cinta padamu.
Apa yang terimpikan hari hari ini
Ketika kekeringan dan kebakaran mengekpor asap kenegeri tetangga
Ketika kau cetak uang 100.000 an
Apa yang terjadi,
Ketika anak negeri saling membunuh
Apa yang salah
Ketika anak negeri tidak akur lagi
Apa yang salah
Ketika korupsi menjadi pekerjaan
Apa yang salah
Ketika orang menyuarakan kejujuran harus mati di pesawat
Apa yang salah
Ketika mahasiswa harapanmu menyontek semua
Kadang aku rindu keramahanmu
Seperti saat patih Gajahmada mengucapkan sumpah palapa
Rakyat tenteram merajut hari depan
NKRI aku sayang kamu
Apa salahku tak kuasa merubahmu di hari-hari ini
Saking bingunya aku tak tau apa artinya negeriku
Aku hanya seorang guru
Yang gagal mengabdi padamu
Yang membuat rakyatmu, alammu, masa depanmu
Suram
Maafkan aku negeri, aku telah jatuh cinta padamu.
Tuesday, October 17, 2006
Jalan Braga dan sahabat
Di jalan Braga
Potongan-potongan kertas dan sampah menyatu seperti awan
Sebentar lagi hujan
Pintu separuh terbuka: ku lihat lusuh tak terurus, gedung bersejarh itu
Menyisakan sihir pada tiang-tiang bendera di depan dan sampingmu
Lelah dan tua
Segelas kopi dan sekerling mata melukis angin dengan kata-kata
Gedung tiu pernah melahirkan penyair; beberapa tukang parkir
Gedung itu mengingatkan kantor tuaku; pernah melahirkan pemimpin bangsa; beberapa koruptor kelas kakap
Juga kawanku, dulu pemimpin demonstran
Berteriak bersama, terdorong dan tersungkur dorongan polisi; bersama
Keluarga menunggu kita waktu itu bermalam-mlam, matang dengan duka
Barangkali isakan juga
Tak perlu bertemu lewat rencana
Yang orang sebut cinta dan diberi makna luka
Ada debu di meja, di ujung lengan bajumu
Ada lusuh di raut mukamu
Begitu indahnya.
Potongan-potongan kertas dan sampah menyatu seperti awan
Sebentar lagi hujan
Pintu separuh terbuka: ku lihat lusuh tak terurus, gedung bersejarh itu
Menyisakan sihir pada tiang-tiang bendera di depan dan sampingmu
Lelah dan tua
Segelas kopi dan sekerling mata melukis angin dengan kata-kata
Gedung tiu pernah melahirkan penyair; beberapa tukang parkir
Gedung itu mengingatkan kantor tuaku; pernah melahirkan pemimpin bangsa; beberapa koruptor kelas kakap
Juga kawanku, dulu pemimpin demonstran
Berteriak bersama, terdorong dan tersungkur dorongan polisi; bersama
Keluarga menunggu kita waktu itu bermalam-mlam, matang dengan duka
Barangkali isakan juga
Tak perlu bertemu lewat rencana
Yang orang sebut cinta dan diberi makna luka
Ada debu di meja, di ujung lengan bajumu
Ada lusuh di raut mukamu
Begitu indahnya.
Wednesday, October 11, 2006
Cap apa ya?
Sore hari, badan penat sudah rasanya
seharian duduk merenung di depan layar
click demi click terlewati
ada yang berguna ada yang tidak.
Sore hari, badan penat sudah rasanya
seharian berkicau di depan pemuda-pemudi harapan negeri
kicau demi kicau terlewati
ada yang indah ada yang memekakan telinga
bahkan ada yang menjengkelkan.
Sore hari, badan penat sudah rasanya
seharian melotot, duduk, merenung, mebalik-balik buku dan bergunam
lotot demi lotot, duduk demi duduk, renung demi renung, balik demi balik dan ....
ada yang indah ada yang tidak
ada yang berguna ada yang tidak
lewatlah sudah siangku yang indah.
Pintu ku ketuk, salam kuucap
"Hi my little man, how are you doing?"
"Not to bad Papa"
"Hello ma, gimana hari ini?"
"Biasa aja, tidak ada yang aneh"
"Tapi pa, hari ini tidak ada apa-apa, ogut belum masak"
Aku hanya berdehem, terus melepas sepatu dan ganti bajuku yang bau tujuh rupa
berkaoslah sekarang.
Lalu aku punya ide,
"hai..cap apa ya????"
lalu semua orang berucap "CAP CAY UENAK"
Jadilah kita berempat
ngariung di dapur sempit pengap,
bercerita hari masing-masing
saling mendengar dan meledek sering
tawa riang, penatku hilang.
baru kali ini aku menikmati bagaimana indahnya
mencuci wortel
mengiris bawang
mencuci sayuran
dan menggoreng dan akhirnya menikmatinya.
seharian duduk merenung di depan layar
click demi click terlewati
ada yang berguna ada yang tidak.
Sore hari, badan penat sudah rasanya
seharian berkicau di depan pemuda-pemudi harapan negeri
kicau demi kicau terlewati
ada yang indah ada yang memekakan telinga
bahkan ada yang menjengkelkan.
Sore hari, badan penat sudah rasanya
seharian melotot, duduk, merenung, mebalik-balik buku dan bergunam
lotot demi lotot, duduk demi duduk, renung demi renung, balik demi balik dan ....
ada yang indah ada yang tidak
ada yang berguna ada yang tidak
lewatlah sudah siangku yang indah.
Pintu ku ketuk, salam kuucap
"Hi my little man, how are you doing?"
"Not to bad Papa"
"Hello ma, gimana hari ini?"
"Biasa aja, tidak ada yang aneh"
"Tapi pa, hari ini tidak ada apa-apa, ogut belum masak"
Aku hanya berdehem, terus melepas sepatu dan ganti bajuku yang bau tujuh rupa
berkaoslah sekarang.
Lalu aku punya ide,
"hai..cap apa ya????"
lalu semua orang berucap "CAP CAY UENAK"
Jadilah kita berempat
ngariung di dapur sempit pengap,
bercerita hari masing-masing
saling mendengar dan meledek sering
tawa riang, penatku hilang.
baru kali ini aku menikmati bagaimana indahnya
mencuci wortel
mengiris bawang
mencuci sayuran
dan menggoreng dan akhirnya menikmatinya.
Saturday, October 07, 2006
Tokoh dalam buku-buku
AHMADINEJAD
Minggu pagi ini, seperti biasa, setelah pulang gereja saya menarik sebuah buku dari rak dan mulai melakukan ritual keluarga, membaca. Anak, isteri dan pembantu (yang agak canggih) saya sudah asyik tenggelam dalam bacaannya masing-masing.
Anak saya Ito, yang duduk di kelas 1 SMP telah dua hari ini mulai membaca buku Karl May "Winnetou" yang agak saya 'paksa'kan untuk membacanya.
Selama ini ia terus membaca buku-buku petualangan macam Harry Potter, Eragon, dan Narnia dan samasekali tidak tertarik pada buku karangan Karl May meski telah saya 'rekomendasi'kan berkali-kali. Beberapa buku petualangan yang lebih 'dewasa' pun ditolaknya. Nampaknya ia telah 'tersihir' oleh buku dengan genre imajinatif macam Harry Potter, Eragon, dan Narnia tersebut. Meski saya gembira bahwa ia membaca dengan 'rakus' tanda ia sudah masuk dalam tahap ' a real book worm' tapi saya agak cemas juga dengan materi yang ia baca. Ia semestinya mulai membaca materi yang lebih luas dan bervariasi.
Setelah upaya 'himbauan' tidak berhasil maka saya akhirnya melakukan pendekatan 'kekuasaan'. Ketika kami berkunjung ke Gramedia beberapa hari yang lalu saya sampaikan bahwa ia harus mulai membaca buku-buku yang lebih 'serius' macam "Winnetou" tersebut. Saya yakin banyak sekali yang ia bisa pelajari dari buku-buku petualangan macam karya Karl May tersebut. Saya sendiri tumbuh dengan membaca hampir semua karya Karl May, yang masih diterbitkan oleh Penerbit Prana Paramita waktu itu kalau tidak salah, dan merasa sangat beruntung memiliki kesempatan untuk menikmatinya. Saya yakin ia akan menyukainya seperti saya dulu menyukainya. Ito hanya mengangguk. Dan sejak kemarin ia telah duduk di pojoknya mulai membaca 'Winnetou'. Seperti yang saya duga ia menikmatinya.
Ada beberapa buku baru yang saya beli beberapa waktu yang lalu dan beberapa bahkan masih dalam plastik. Melihat judulnya saja saya sudah tertarik. Salah satunya adalah "Ahmadinejad, David di Tengah Angkara Goliath Dunia" terbitan Himah Teladan, kelompok Mizan. Jenis buku-buku yang 'irresistible' tersebut saya ambil juga dengan sedikit rasa bersalah. 'Uang bisa dicari' kata saya dalam hati untuk menenangkan rasa bersalah yang seringkali muncul jika membeli sesuatu dengan harga mahal.
Meski telah lama lewat dari masa-masa kesulitan finansial tapi 'jiwa pengiritan' saya ini kok ya nggak hilang-hilang toh! Istri saya sering mengingatkan saya agar tidak terlalu keras pada diri sendiri dan sesekali memanjakan diri. Memanjakan diri? Hehehe ... Seandainya saja ia tahu betapa Allah sangat memanjakan diri saya dengan semua berkat dan rahmat yang Ia limpahkan pada saya ia tentu akan tahu mengapa saya sering merasa bersalah dengan segala kemewahan yang saya terima. (Allah sangat memanjakan saya, you know!) . Ada enam buah buku yang saya bawa ke kasir dan saya harus membayar lebih dari seperempat jeti termasuk barang kecil-kecil. Gosh! Books are really expensive nowadays. Tapi saya senang bisa membeli buku tentang Ahmadinejad ini.
Telah agak lama saya tertarik dengan tokoh satu ini. Sepak terjangnya melawan tekanan Barat dalam masalah nuklir benar-benar membuat saya penasaran dengan tokoh ini. Salah satu mailing list juga pernah menayangkan foto-foto tentang kesederhanaan beliau meski ada yang meragukan keasliannya. Telah lama rasanya dunia tidak memiliki tokoh 'David' macam Ahmadinejad ini. Dunia kita ini sekarang dipenuhi oleh para pengecut dan tidak memiliki pendirian. Sosok Ahmadinejad benar-benar seperti seteguk air di tengah sahara. Ketika baru saja membaca Pengantar yang dituliskan oleh Rosiana Silalahi dari SCTV dan Bab I tentang awal-awal kiprah Ahmadinejad dalam dunia politik di Iran tanpa terasa mata saya terasa hangat dan tanpa bisa saya kendalikan air mata saya mengalir. Saya sungguh tidak dapat menahan keharuan saya membaca dan mengetahui betapa sederhananya tokoh dunia satu ini. Saya terpaksa harus menghentikan membaca buku ini agar tidak larut dalam emosi saya. I'm such a sentimental person. Tapi terus terang saya memang hidup dalam kerinduan akan tokoh sederhana macam Mahatma Gandhi, Muhammad Hatta, dsb. Ketika masih kecil kami hidup dalam kemiskinan dan tokoh-tokoh itu mengisi jiwa saya. Saya lantas merasa beruntung pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidup sehingga saya bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami oleh para 'guru' saya tersebut. Ketika saya lapar saya merasa melihat mereka tersenyum pada saya sambil berkata,"Lapar itu baik bagimu, Nak! Nikmatilah." Dan saya pun tersenyum terhibur. Ketika saya tampil dengan pakaian yang tak layak dibandingkan teman-teman sebaya saya ketika itu, saya melihat Mahatma Gandhi mengerling pada saya dari balik kacamata bulatnya sambil berkata,:"Kau bisa mengikuti jejak saya kalau mau." Beliau hanya menggunakan sepotong kain putih yang dililitkan ke tubuhnya yang kurus. Saya merasa malu pada diri sendiri dan saya pun berhenti mengasihani diri.
Dan kini ada Ahmadinejad, seorang tokoh in reality! Seberapa sederhanakah beliau ini? Let me tell you. Berikut ini saya kutipkan sebagian dari yang saya baca dari buku tersebut. Konon ketika beliau sudah menjabat sebagai walikota Teheran yang memiliki populasi lebih besar daripada Jakarta ia masih tampil dengan sepatu yang bolong-bolong. Ia menyapu jalanan Teheran dan bangga dengan itu. Sampai sekarang pun ia masih tampil dengan kemeja lengan panjang sederhana sehingga jika kita tidak mengenalnya dan bertemu dengannya kita tidak akan pernah mengira bahwa beliau adalah seorang presiden. Ya presiden dari sebuah negara besar.
Sebelum menjabat sebagai presiden Iran beliau adalah walikota Teheran, periode 2003-2005. Teheran, ibukota Iran, kota dengan sejuta paradoks, memiliki populasi hampir dua kali lipat dari Jakarta, yaitu sebesar 16 juta penduduk. Untuk bisa menjadi walikota dari ibukota negara tentu sudah merupakan prestasi tersendiri mengingat betapa Iran adalah negara yang dikuasai oleh para mullah. Ia bukanlah ulama bersorban, tokoh revolusi, dan karir birokrasinya kurang dari 10 tahun. Beliau tinggal di gang buntu, maniak bola, tak punya sofa di rumahnya, dan kemana-mana dengan mobil Peugeot tahun 1977. Penampilannya sendiri jauh dari menarik untuk dijadikan gosip, apalagi jadi selebriti. Rambutnya kusam seperti tidak pernah merasakan sampo dan sepatunya itu-itu terus, bolong disana-sini, mirip alas kaki tukang sapu jalanan di belanatara Jakarta. Nah! Kira-kira dengan modal dan penampilan begini apakah ia memiliki kemungkinan untuk menjabat sebagai walikota Depok saja, umpamanya? Dalam tempo setahun pertanyaan tentang kemampuannya memimpin terjawab. Warga Teheran menemukan bahwa walikotanya sebagai pejabat yang bangga bisa menyapu sendiri jalan-jalan kota, gatal tangannya jika ada selokan yang mampet dan turun tangan untuk membersihkannya sendiri, menyetir sendiri mobilnya ke kantor dan bekerja hingga dini hari sekedar untuk memastikan bahwa Teheran dapat mejadi lebih nyaman untuk ditinggali. "Saya bangga bisa menyapu jalanan di Teheran." Katanya tanpa berusaha untuk tampil sok sederhana. Di belahan dunia lain sosoknya mungkin dapat dijadikan reality show atau bahkan aliran kepercayaan baru. Sejak hari pertama menjabat ia langsung mengadakan kebijakan yang bersifat mendasar atau manusiawi, seperti menggandakan pinjaman lunak bagi pasangan muda yang hendak menikah dari 6 juta rial menjadi 12 juta rial, pembagian sup gratis bagi orang miskin setiap pekan, dan menjadikan rumah dinas walikota sebagai museum publik! Ia sendiri memilih tinggal di rumah pribadinya di kawasan Narmak yang miskin yang hanya berukuran luas 170 m persegi. Ia bahkan melarang pemberian sajian pisang bagi tamu walikota mengingat pisang merupakan buah yang sangat mahal dan bisa berharga 6000 rupiah per bijinya. Ia juga menunjukkan dirinya sebagai pekerja keras yang sengaja memperpanjang jam kerjanya agar dapat menerima warga kota yang ingin mengadu. Namun salah satu keberhasilannya yang dirasakan oleh warga kota Teheran adalah spesialisasinya sebagai seorang doktor di bidang manajemen transportasi dan lalu lintas perkotaan. Sekedar untuk diketahui, kemacetan kota Teheran begitu parahnya sehingga saya pernah dikirimi salah satu foto lelucon dari berbagai belahan dunia dengan judul "Only in …" . salah satunya dari Teheran dengan judul "Only in Teheran" dengan foto kemacetan lalu lintasnya yang bisa bikin penduduk Jakarta menertawakan kemacetan lalu lintas di kotanya. Secara dramatis ia berhasil menekan tingkat kemacetan di Teheran dengan mencopot lampu-lampu di perempatan jalan besar dan mengubahnya menjadi jalur putar balik yang sangat efektif. Setalah menjabat dua tahun sebagai walikota Teheran ia masuk dalam finalis pemilihan walikota terbaik dunia World Mayor 2005 dari 550 walikota yang masuk nominasi. Hanya sembilan yang dari Asia, termasuk Ahamdinejad.
Tapi itu baru awal cerita. Pada tangagl 24 Juni 2005 ia menjadi bahan pembicaraan seluruh dunia karena berhasil menjadi presiden Iran setelah mengkanvaskan ulama-cum-militer Ali Hashemi Rafsanjani dalam pemilihan umum. Bagaimana mungkin padahal pada awal kampanye namanya bahkan tidak masuk hitungan karena yang maju adalah para tokoh yang memiliki hampir segalanya dibandingkan dengannya? Dalam jajak pendapat awal kampanye dari delapan calon presiden yang bersaing, Akbar hasyemi Rafsanjani, Ali Larijani, Ahmadinejad, Mehdi Karrubi, Mohammed Bhager Galibaf, Mohsen Meharalizadeh, Mohsen Rezai, dan Mostafa Min, popularitas Ahmadinejad paling buncit.
Pada masa kampanye ketika para kontestan mengorek sakunya dalam-dalam untuk menarik perhatian massa, Ahmadinejad bahkan tidak sanggup untuk mencetak foto-foto dan atributnya sebagai calon presiden. Sebagai walikota ia menyumbangkan semua gajinya dan hidup dengan gajinya sebagai dosen. Ia tidak mampu untuk mengeluarkan uang sepeser pun untuk kampanye! Sebaliknya ia justru menghantam para calon presiden yang menggunakan dana ratusan milyar untuk berkampanye atau yang bagi-bagi uang untuk menarik simpati rakyat. Pada pemilu putaran pertama keanehan terjadi, Nama Ahmadinejad menyodok ke tempat ketiga. Di atasnya dua dedengkot politik yang jauh lebih senior di atasnya, Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mahdi Karrubi. Rafsanjani tetap menjadi favorit untuk memenangi pemilu ini mengingat reputasi dan tangguhnya mesin politiknya. Tapi rakyat Iran punya rencana dan harapan lain, Ahmadinejad memenangi pemilu dengan 61 % sedangkan Rafsanjani hanya 35%. Logika real politik dibikin jungkir balik olehnya.
Ahmadinejad memang penuh dengan kontroversi. Ia presiden yang tidak berasal dari mullah yang selama puluhan tahun telah mendominasi hampir semua pos kekuasaan di Iran, status quo yang sangat dominan. Ia juga bukan berasal dari elit yang dekat dengan kekuasaan, tidak memiliki track-record sebagai politisi, dan hanya memiliki modal asketisme, yang untuk standar Iran pun sudah menyolok. Ia seorang revolusioner sejati sebagaimana halnya dengan Imam Khomeini dengan kedahsyatan aura yang berbeda. Jika Imam Khomeini tampil mistis dan sufistis, Ahamdinejad justru tampil sangat merakyat, mudah dijangkau siapapun, mudah dipahami dan diteladani. Ia adalah sosok Khomeini yang jauh lebih mudah untuk dipahami dan diteladani. Ia adalah figur idola dalam kehidupan nyata.
Seorang 'satria piningit' yang mewujud dalam sosok nyata. Sebagaimana mentornya, ia tidak terpengaruh oleh kekuasaan. Kekuasaan seolah tidak menyentuh karakter-karakter terdalamnya. Ia seolah memiliki 'kepribadian ganda', di satu sisi ia bisa bertarung keras untuk merebut dan mengelola kekuasaan, dan di sisi lain ia bertarung sama kerasnya menolak segenap pengaruh kekuasaan agar tidak mempengaruhi batinnya. Tidak bisa tidak, dengan karakter yang demikian kompleks itu seorang revolusioner macam Ahmadinejad memang ditakdirkan untuk membuat banyak kejutan dan drama pada dunia. Ia memangkas semua biaya dan fasilitas kedinasan yang tidak sine-qua-non terutama dengan urusan pribadi. Dalam pandangannya, untuk mewujudkan masyarakat Islam yang maju dan sejahtera, pejabat negara haruslah memiliki standar hidup yang sama dengan rakyat kebanyakan, mencerminkan kehidupan nyata dari masyarakatnya, dan tidak hidup di menara gading. Ia menetapkan PPN baru bagi orang-orang kaya dan mengunakan dananya untuk membangun perumahan bagi rakyat miskin. Ia membawa 'uang minyak ke piring-piring orang miskin' dengan program "Reza Love Fund" (Reza adalah Imam ke delapan kaum Syiah) dengan mengalokasikan 1,3 milyar dollar untuk program bantuan bagi kalangan muda untuk menikah, memulai usaha baru, dan membeli rumah.
Meski mengagumi Imam Khomeini dan hidup asketis tidak berarti ia konservatif. Ia bahkan tampil moderat. Ketika ditanya apakah ia akan mengekang penggunaan jilbab yang kurang Islami di kalangan remaja Teheran, ia menjawab,:"Orang cenderung berpikir bahwa kembali ke nilai-nilai revolusioner itu hanya urusan memakai jilbab yang baik. Masalah sejati bangsa ini adalah lapangan kerja dan perumahan untuk semua, bukan apa yang harus dipakai."
Meski telah terpilih menjadi presiden ia sama sekali tidak mengubah penampilannya. Ia tetap tampil bersahaja dan jauh dari pamor kepresidenan. Pada salah satu acara dengan kalangan mahasiswa salah satu peserta menanyakan penampilannya yang tidak menunjukkan tampang presiden tersebut. Dengan lugas ia menjawab,:"Tapi saya punya tampang pelayan. Dan saya hanya ingin menjadi pelayan rakyat." Air mata saya mengalir membaca ini. Subhanallah! Alangkah rendah hatinya pemimpin satu ini. Tak salah jika ia dicintai oleh bagitu banyak mahluk Tuhan di seluruh muka bumi.
Saya tidak ingin menulis lebih panjang tentang tokoh satu ini. Saya menganjurkan setiap orang untuk membeli bukunya dan membacanya sendiri dan menikmatinya sebagaimana saya menikmatinya. Belikan satu buku untuk anak Anda dan biarkan ia mengenal satu tokoh besar dunia yang masih hidup dan mudah-mudahan kelak dapat mengikuti jejaknya. Saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan pendapatnya mengapa ia bersikeras agar Iran memiliki teknologi nuklir. Katanya,:"Jika nuklir ini dinilai jelek dan kami tidak boleh menguasai dan memilikinya mengapa kalian sebagai negara adikuasa boleh memilikinya? Sebaliknya, jika teknonuklir ini baik untuk kalian, mengapa kami tidak boleh juga memakainya?" Suatu argumen sederhana yang tidak mampu dijawab oleh negara-negara Barat. Itu sebabnya Bush tidak bersedia meladeninya dalam suatu tantangan debat di PBB.
Minggu pagi ini, seperti biasa, setelah pulang gereja saya menarik sebuah buku dari rak dan mulai melakukan ritual keluarga, membaca. Anak, isteri dan pembantu (yang agak canggih) saya sudah asyik tenggelam dalam bacaannya masing-masing.
Anak saya Ito, yang duduk di kelas 1 SMP telah dua hari ini mulai membaca buku Karl May "Winnetou" yang agak saya 'paksa'kan untuk membacanya.
Selama ini ia terus membaca buku-buku petualangan macam Harry Potter, Eragon, dan Narnia dan samasekali tidak tertarik pada buku karangan Karl May meski telah saya 'rekomendasi'kan berkali-kali. Beberapa buku petualangan yang lebih 'dewasa' pun ditolaknya. Nampaknya ia telah 'tersihir' oleh buku dengan genre imajinatif macam Harry Potter, Eragon, dan Narnia tersebut. Meski saya gembira bahwa ia membaca dengan 'rakus' tanda ia sudah masuk dalam tahap ' a real book worm' tapi saya agak cemas juga dengan materi yang ia baca. Ia semestinya mulai membaca materi yang lebih luas dan bervariasi.
Setelah upaya 'himbauan' tidak berhasil maka saya akhirnya melakukan pendekatan 'kekuasaan'. Ketika kami berkunjung ke Gramedia beberapa hari yang lalu saya sampaikan bahwa ia harus mulai membaca buku-buku yang lebih 'serius' macam "Winnetou" tersebut. Saya yakin banyak sekali yang ia bisa pelajari dari buku-buku petualangan macam karya Karl May tersebut. Saya sendiri tumbuh dengan membaca hampir semua karya Karl May, yang masih diterbitkan oleh Penerbit Prana Paramita waktu itu kalau tidak salah, dan merasa sangat beruntung memiliki kesempatan untuk menikmatinya. Saya yakin ia akan menyukainya seperti saya dulu menyukainya. Ito hanya mengangguk. Dan sejak kemarin ia telah duduk di pojoknya mulai membaca 'Winnetou'. Seperti yang saya duga ia menikmatinya.
Ada beberapa buku baru yang saya beli beberapa waktu yang lalu dan beberapa bahkan masih dalam plastik. Melihat judulnya saja saya sudah tertarik. Salah satunya adalah "Ahmadinejad, David di Tengah Angkara Goliath Dunia" terbitan Himah Teladan, kelompok Mizan. Jenis buku-buku yang 'irresistible' tersebut saya ambil juga dengan sedikit rasa bersalah. 'Uang bisa dicari' kata saya dalam hati untuk menenangkan rasa bersalah yang seringkali muncul jika membeli sesuatu dengan harga mahal.
Meski telah lama lewat dari masa-masa kesulitan finansial tapi 'jiwa pengiritan' saya ini kok ya nggak hilang-hilang toh! Istri saya sering mengingatkan saya agar tidak terlalu keras pada diri sendiri dan sesekali memanjakan diri. Memanjakan diri? Hehehe ... Seandainya saja ia tahu betapa Allah sangat memanjakan diri saya dengan semua berkat dan rahmat yang Ia limpahkan pada saya ia tentu akan tahu mengapa saya sering merasa bersalah dengan segala kemewahan yang saya terima. (Allah sangat memanjakan saya, you know!) . Ada enam buah buku yang saya bawa ke kasir dan saya harus membayar lebih dari seperempat jeti termasuk barang kecil-kecil. Gosh! Books are really expensive nowadays. Tapi saya senang bisa membeli buku tentang Ahmadinejad ini.
Telah agak lama saya tertarik dengan tokoh satu ini. Sepak terjangnya melawan tekanan Barat dalam masalah nuklir benar-benar membuat saya penasaran dengan tokoh ini. Salah satu mailing list juga pernah menayangkan foto-foto tentang kesederhanaan beliau meski ada yang meragukan keasliannya. Telah lama rasanya dunia tidak memiliki tokoh 'David' macam Ahmadinejad ini. Dunia kita ini sekarang dipenuhi oleh para pengecut dan tidak memiliki pendirian. Sosok Ahmadinejad benar-benar seperti seteguk air di tengah sahara. Ketika baru saja membaca Pengantar yang dituliskan oleh Rosiana Silalahi dari SCTV dan Bab I tentang awal-awal kiprah Ahmadinejad dalam dunia politik di Iran tanpa terasa mata saya terasa hangat dan tanpa bisa saya kendalikan air mata saya mengalir. Saya sungguh tidak dapat menahan keharuan saya membaca dan mengetahui betapa sederhananya tokoh dunia satu ini. Saya terpaksa harus menghentikan membaca buku ini agar tidak larut dalam emosi saya. I'm such a sentimental person. Tapi terus terang saya memang hidup dalam kerinduan akan tokoh sederhana macam Mahatma Gandhi, Muhammad Hatta, dsb. Ketika masih kecil kami hidup dalam kemiskinan dan tokoh-tokoh itu mengisi jiwa saya. Saya lantas merasa beruntung pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidup sehingga saya bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami oleh para 'guru' saya tersebut. Ketika saya lapar saya merasa melihat mereka tersenyum pada saya sambil berkata,"Lapar itu baik bagimu, Nak! Nikmatilah." Dan saya pun tersenyum terhibur. Ketika saya tampil dengan pakaian yang tak layak dibandingkan teman-teman sebaya saya ketika itu, saya melihat Mahatma Gandhi mengerling pada saya dari balik kacamata bulatnya sambil berkata,:"Kau bisa mengikuti jejak saya kalau mau." Beliau hanya menggunakan sepotong kain putih yang dililitkan ke tubuhnya yang kurus. Saya merasa malu pada diri sendiri dan saya pun berhenti mengasihani diri.
Dan kini ada Ahmadinejad, seorang tokoh in reality! Seberapa sederhanakah beliau ini? Let me tell you. Berikut ini saya kutipkan sebagian dari yang saya baca dari buku tersebut. Konon ketika beliau sudah menjabat sebagai walikota Teheran yang memiliki populasi lebih besar daripada Jakarta ia masih tampil dengan sepatu yang bolong-bolong. Ia menyapu jalanan Teheran dan bangga dengan itu. Sampai sekarang pun ia masih tampil dengan kemeja lengan panjang sederhana sehingga jika kita tidak mengenalnya dan bertemu dengannya kita tidak akan pernah mengira bahwa beliau adalah seorang presiden. Ya presiden dari sebuah negara besar.
Sebelum menjabat sebagai presiden Iran beliau adalah walikota Teheran, periode 2003-2005. Teheran, ibukota Iran, kota dengan sejuta paradoks, memiliki populasi hampir dua kali lipat dari Jakarta, yaitu sebesar 16 juta penduduk. Untuk bisa menjadi walikota dari ibukota negara tentu sudah merupakan prestasi tersendiri mengingat betapa Iran adalah negara yang dikuasai oleh para mullah. Ia bukanlah ulama bersorban, tokoh revolusi, dan karir birokrasinya kurang dari 10 tahun. Beliau tinggal di gang buntu, maniak bola, tak punya sofa di rumahnya, dan kemana-mana dengan mobil Peugeot tahun 1977. Penampilannya sendiri jauh dari menarik untuk dijadikan gosip, apalagi jadi selebriti. Rambutnya kusam seperti tidak pernah merasakan sampo dan sepatunya itu-itu terus, bolong disana-sini, mirip alas kaki tukang sapu jalanan di belanatara Jakarta. Nah! Kira-kira dengan modal dan penampilan begini apakah ia memiliki kemungkinan untuk menjabat sebagai walikota Depok saja, umpamanya? Dalam tempo setahun pertanyaan tentang kemampuannya memimpin terjawab. Warga Teheran menemukan bahwa walikotanya sebagai pejabat yang bangga bisa menyapu sendiri jalan-jalan kota, gatal tangannya jika ada selokan yang mampet dan turun tangan untuk membersihkannya sendiri, menyetir sendiri mobilnya ke kantor dan bekerja hingga dini hari sekedar untuk memastikan bahwa Teheran dapat mejadi lebih nyaman untuk ditinggali. "Saya bangga bisa menyapu jalanan di Teheran." Katanya tanpa berusaha untuk tampil sok sederhana. Di belahan dunia lain sosoknya mungkin dapat dijadikan reality show atau bahkan aliran kepercayaan baru. Sejak hari pertama menjabat ia langsung mengadakan kebijakan yang bersifat mendasar atau manusiawi, seperti menggandakan pinjaman lunak bagi pasangan muda yang hendak menikah dari 6 juta rial menjadi 12 juta rial, pembagian sup gratis bagi orang miskin setiap pekan, dan menjadikan rumah dinas walikota sebagai museum publik! Ia sendiri memilih tinggal di rumah pribadinya di kawasan Narmak yang miskin yang hanya berukuran luas 170 m persegi. Ia bahkan melarang pemberian sajian pisang bagi tamu walikota mengingat pisang merupakan buah yang sangat mahal dan bisa berharga 6000 rupiah per bijinya. Ia juga menunjukkan dirinya sebagai pekerja keras yang sengaja memperpanjang jam kerjanya agar dapat menerima warga kota yang ingin mengadu. Namun salah satu keberhasilannya yang dirasakan oleh warga kota Teheran adalah spesialisasinya sebagai seorang doktor di bidang manajemen transportasi dan lalu lintas perkotaan. Sekedar untuk diketahui, kemacetan kota Teheran begitu parahnya sehingga saya pernah dikirimi salah satu foto lelucon dari berbagai belahan dunia dengan judul "Only in …" . salah satunya dari Teheran dengan judul "Only in Teheran" dengan foto kemacetan lalu lintasnya yang bisa bikin penduduk Jakarta menertawakan kemacetan lalu lintas di kotanya. Secara dramatis ia berhasil menekan tingkat kemacetan di Teheran dengan mencopot lampu-lampu di perempatan jalan besar dan mengubahnya menjadi jalur putar balik yang sangat efektif. Setalah menjabat dua tahun sebagai walikota Teheran ia masuk dalam finalis pemilihan walikota terbaik dunia World Mayor 2005 dari 550 walikota yang masuk nominasi. Hanya sembilan yang dari Asia, termasuk Ahamdinejad.
Tapi itu baru awal cerita. Pada tangagl 24 Juni 2005 ia menjadi bahan pembicaraan seluruh dunia karena berhasil menjadi presiden Iran setelah mengkanvaskan ulama-cum-militer Ali Hashemi Rafsanjani dalam pemilihan umum. Bagaimana mungkin padahal pada awal kampanye namanya bahkan tidak masuk hitungan karena yang maju adalah para tokoh yang memiliki hampir segalanya dibandingkan dengannya? Dalam jajak pendapat awal kampanye dari delapan calon presiden yang bersaing, Akbar hasyemi Rafsanjani, Ali Larijani, Ahmadinejad, Mehdi Karrubi, Mohammed Bhager Galibaf, Mohsen Meharalizadeh, Mohsen Rezai, dan Mostafa Min, popularitas Ahmadinejad paling buncit.
Pada masa kampanye ketika para kontestan mengorek sakunya dalam-dalam untuk menarik perhatian massa, Ahmadinejad bahkan tidak sanggup untuk mencetak foto-foto dan atributnya sebagai calon presiden. Sebagai walikota ia menyumbangkan semua gajinya dan hidup dengan gajinya sebagai dosen. Ia tidak mampu untuk mengeluarkan uang sepeser pun untuk kampanye! Sebaliknya ia justru menghantam para calon presiden yang menggunakan dana ratusan milyar untuk berkampanye atau yang bagi-bagi uang untuk menarik simpati rakyat. Pada pemilu putaran pertama keanehan terjadi, Nama Ahmadinejad menyodok ke tempat ketiga. Di atasnya dua dedengkot politik yang jauh lebih senior di atasnya, Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mahdi Karrubi. Rafsanjani tetap menjadi favorit untuk memenangi pemilu ini mengingat reputasi dan tangguhnya mesin politiknya. Tapi rakyat Iran punya rencana dan harapan lain, Ahmadinejad memenangi pemilu dengan 61 % sedangkan Rafsanjani hanya 35%. Logika real politik dibikin jungkir balik olehnya.
Ahmadinejad memang penuh dengan kontroversi. Ia presiden yang tidak berasal dari mullah yang selama puluhan tahun telah mendominasi hampir semua pos kekuasaan di Iran, status quo yang sangat dominan. Ia juga bukan berasal dari elit yang dekat dengan kekuasaan, tidak memiliki track-record sebagai politisi, dan hanya memiliki modal asketisme, yang untuk standar Iran pun sudah menyolok. Ia seorang revolusioner sejati sebagaimana halnya dengan Imam Khomeini dengan kedahsyatan aura yang berbeda. Jika Imam Khomeini tampil mistis dan sufistis, Ahamdinejad justru tampil sangat merakyat, mudah dijangkau siapapun, mudah dipahami dan diteladani. Ia adalah sosok Khomeini yang jauh lebih mudah untuk dipahami dan diteladani. Ia adalah figur idola dalam kehidupan nyata.
Seorang 'satria piningit' yang mewujud dalam sosok nyata. Sebagaimana mentornya, ia tidak terpengaruh oleh kekuasaan. Kekuasaan seolah tidak menyentuh karakter-karakter terdalamnya. Ia seolah memiliki 'kepribadian ganda', di satu sisi ia bisa bertarung keras untuk merebut dan mengelola kekuasaan, dan di sisi lain ia bertarung sama kerasnya menolak segenap pengaruh kekuasaan agar tidak mempengaruhi batinnya. Tidak bisa tidak, dengan karakter yang demikian kompleks itu seorang revolusioner macam Ahmadinejad memang ditakdirkan untuk membuat banyak kejutan dan drama pada dunia. Ia memangkas semua biaya dan fasilitas kedinasan yang tidak sine-qua-non terutama dengan urusan pribadi. Dalam pandangannya, untuk mewujudkan masyarakat Islam yang maju dan sejahtera, pejabat negara haruslah memiliki standar hidup yang sama dengan rakyat kebanyakan, mencerminkan kehidupan nyata dari masyarakatnya, dan tidak hidup di menara gading. Ia menetapkan PPN baru bagi orang-orang kaya dan mengunakan dananya untuk membangun perumahan bagi rakyat miskin. Ia membawa 'uang minyak ke piring-piring orang miskin' dengan program "Reza Love Fund" (Reza adalah Imam ke delapan kaum Syiah) dengan mengalokasikan 1,3 milyar dollar untuk program bantuan bagi kalangan muda untuk menikah, memulai usaha baru, dan membeli rumah.
Meski mengagumi Imam Khomeini dan hidup asketis tidak berarti ia konservatif. Ia bahkan tampil moderat. Ketika ditanya apakah ia akan mengekang penggunaan jilbab yang kurang Islami di kalangan remaja Teheran, ia menjawab,:"Orang cenderung berpikir bahwa kembali ke nilai-nilai revolusioner itu hanya urusan memakai jilbab yang baik. Masalah sejati bangsa ini adalah lapangan kerja dan perumahan untuk semua, bukan apa yang harus dipakai."
Meski telah terpilih menjadi presiden ia sama sekali tidak mengubah penampilannya. Ia tetap tampil bersahaja dan jauh dari pamor kepresidenan. Pada salah satu acara dengan kalangan mahasiswa salah satu peserta menanyakan penampilannya yang tidak menunjukkan tampang presiden tersebut. Dengan lugas ia menjawab,:"Tapi saya punya tampang pelayan. Dan saya hanya ingin menjadi pelayan rakyat." Air mata saya mengalir membaca ini. Subhanallah! Alangkah rendah hatinya pemimpin satu ini. Tak salah jika ia dicintai oleh bagitu banyak mahluk Tuhan di seluruh muka bumi.
Saya tidak ingin menulis lebih panjang tentang tokoh satu ini. Saya menganjurkan setiap orang untuk membeli bukunya dan membacanya sendiri dan menikmatinya sebagaimana saya menikmatinya. Belikan satu buku untuk anak Anda dan biarkan ia mengenal satu tokoh besar dunia yang masih hidup dan mudah-mudahan kelak dapat mengikuti jejaknya. Saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan pendapatnya mengapa ia bersikeras agar Iran memiliki teknologi nuklir. Katanya,:"Jika nuklir ini dinilai jelek dan kami tidak boleh menguasai dan memilikinya mengapa kalian sebagai negara adikuasa boleh memilikinya? Sebaliknya, jika teknonuklir ini baik untuk kalian, mengapa kami tidak boleh juga memakainya?" Suatu argumen sederhana yang tidak mampu dijawab oleh negara-negara Barat. Itu sebabnya Bush tidak bersedia meladeninya dalam suatu tantangan debat di PBB.
Friday, October 06, 2006
Ibu (terinspirasi dari seorang sahabat)
IBU
Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba'da Ashar, "Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya "Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah" pinta Ibu. "Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu...?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya membaca al-qur'an selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal? "Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus mengaji, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.
"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum manis sekali. "Penyakit orang tua. Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam
hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi.
Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan gelung ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan mnya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan....
Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..Pernahkah..?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke Bandung, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.
IBUMU adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
Apa ya judulnya??
Setiap akhir,
ada mulanya,
setiap lama,
ada penyambungnya,
bagaikan benang yang melilit,
ketika iman berkelana entah kemana....
Setiap mula,
ada penyebabnya, titik tolak ...(kata ilmuwan??)
alkisah hati terbakar cinta ... (kata sastrawan??)
Dengan hayunan tangan para guru ...
dengan tangisan para nabi ...
Bapak-bapak dan ibu-ibu beserta teman-teman
membantu memadamkan bara di hati
ketika satu dan ketika yang lainnya
setiap mula ada akhir
BENARKAH KATA-KATA ...?
ada mulanya,
setiap lama,
ada penyambungnya,
bagaikan benang yang melilit,
ketika iman berkelana entah kemana....
Setiap mula,
ada penyebabnya, titik tolak ...(kata ilmuwan??)
alkisah hati terbakar cinta ... (kata sastrawan??)
Dengan hayunan tangan para guru ...
dengan tangisan para nabi ...
Bapak-bapak dan ibu-ibu beserta teman-teman
membantu memadamkan bara di hati
ketika satu dan ketika yang lainnya
setiap mula ada akhir
BENARKAH KATA-KATA ...?
Gulau (bukan Gulai)
Tiba-tiba gulauku menerawang lagi
dalam waktu waktu hampa
ku matikan diriku sesaat
Melangkai gulau
bersama jejak dan detik waktu
Dalam batas waktu menghimbau
gulau gulau
tiba -tiba menyerap dalam diriku
seolah-olah
ada jiwa melihat bersinar gulau
ada telinga mendengar gulau
ada mulut mengucap gulau
ada hidung mengendus gulau
ada hati terpaku gulau
kemana arah gulau
dalam jarak langkah jauh gulau
dalam jarak langkah tersalah dihimpit gulau
mata memaku hati terdetak gulau
bersambung hidup terhimpit gulau
akan ke manakah diri bersama gulau
dalam waktu waktu hampa
ku matikan diriku sesaat
Melangkai gulau
bersama jejak dan detik waktu
Dalam batas waktu menghimbau
gulau gulau
tiba -tiba menyerap dalam diriku
seolah-olah
ada jiwa melihat bersinar gulau
ada telinga mendengar gulau
ada mulut mengucap gulau
ada hidung mengendus gulau
ada hati terpaku gulau
kemana arah gulau
dalam jarak langkah jauh gulau
dalam jarak langkah tersalah dihimpit gulau
mata memaku hati terdetak gulau
bersambung hidup terhimpit gulau
akan ke manakah diri bersama gulau
Subscribe to:
Posts (Atom)