Ken Dedes istri sang Akuwu Tunggul Ametung turun dari kereta di pinggir jalan terpesona oleh bunga-bunga rumputan padang ilalang dalam siraman sinar mentari senja. Ken Arok, anak muda berhati batu, si hantu padang Karautan muncul tiba-tiba dari kerumunan perdu dan berdiri berhadap-hadapan dengannya.
“Matamu liar.” kata Dedes.
“Tak liarkah tatapanmu?”jawab Arok. Dia berdiri terpaku seolah melihat dirinya di dalam kaca dalam bentuk wanita.
”Bahasamu binal.” Kata Arok.
”Tak binalkah tutur katamu?” Jawab Dedes. Diapun hanya terpana seperti melihat dirinya dalam bentuk pemuda.
”Kau mengutuk cinta lelaki bahkan cinta ayahmu sendiri.” Kata Arok.
”Tidakkah kau mengutuk cinta ibumu sendiri, yang menghanyutkanmu di kali Brantas.” Kata Dedes dengan memalingkan mukanya sedikit, … memandangi bunga-bunga rumputan yang mulai bermekaran. Arok memandangi kibasan rambut Dedes yang ungu merah tua dalam kilauan sinar matahari senja.
”Kau cantik penuh warna, pasti kau lahir di musim pelangi pada bulan-bulan gerimis mulai menyiram bumi.” Terpana Arok seolah mengagumi dirinya sendiri.
”Kau sesegar padang rumputan, kaupun pasti lahir di akhir kemarau panjang.” Dedes menghirup bau segar rumputan dari tubuhnya.
Rembulan mulai jatuh cinta pada malam. Matahari pergi dengan mengutuk malam sedangkan rembulan datang mencumbu malam sambil mengutuk siang hari. Siang mengutuk malam, dan malam mengutuk hari, sehingga tak pernah ada cinta tanpa kutukan walau saat fajar dan senja, mereka selalu bertemu dan menyapa.
”Aku milik sang Akuwu, kau tak akan bisa mendapatkan cintaku.” Kata Dedes seolah mohon pembebasan.
“Kau tak pernah mencinta si Akuwu karena dia merampasmu dari cinta ayahmu sang empu Parwa. Akulah yang akan melunasi kutukan ayahmu terhadap perampas cinta itu.” Ken Dedes hanya diam, menatap Arok seolah memandangi kecantikan dirinya.
“Aku terlahir dari buah cinta sang empu Parwa ayahku dengan ibuku. Engkau ternyata terlahir dari kutukan ayahku.”
”Akan ku bebaskan cintamu dari Tunggul Ametung si Akuwu.” Sebuah janji Arok pada Dedes yang seakan janji pada dirinya sendiri.
“Namun darah cintamu telah dikutuk Sang empu Gandring.” Bisik Dedes.
”Akan ku alirkan darah cinta terkutukku padamu.“ Jawab Arok dalam dengus nafasnya.
“Cinta kita telah dikutuk dewata, akan pedih perih ujungnya.“ Bisik mereka hampir bersamaan.
Lalu ada jeda diam yang panjang, seakan sepanjang petang. Belalang kayu mulai berderik di daunan, jengkerik mulai mengkerik di bongkah-bongkah batu. Angin diam, takut berbisik pada daunan kering, tak mau mengganggu aliran cinta dalam diam tatapan mata.
“Kau akan membunuh suamiku.“ Seperti dia berbisik pada dirinya sendiri.
“Dan janin dalam rahimmu akan membunuhku, aku tahu.“ seperti dia memberi janji untuk kebebasan jiwanya sendiri nanti jika saatnya tiba.
“Akankah kau tetap mencintaiku?“
“Padamu ku serahkan hidupku, kuserahkan matiku. Dari darah terkutukku dan dari rahim sucimu akan lahir raja-raja bagi tanah Jawa.“
Sebuah tangan kokoh perkasa menyembul dari balik tirai kereta, menarik tangan Dedes yang lembut gemulai, memaksanya kembali masuk ke kereta. Malam menelan bunga-bunga rumputan, hanya gerumbul-gerumbul hitam yang tersisa …
(cuilan catatan percakapan di depan kaca)